Pertambahan penduduk Indonesia yang pesat semenjak
kemerdekaan berakibat meningkatnya kebutuhan pangan (terutama beras). Pada
mulanya Indonesia sangat tergantung pada beras impor karena produksi dalam
negeri tidak mampu mencukupi kebutuhan yang sangat besar. Tetapi dengan
berjalannya waktu, mengingat ketahanan pangan merupakan komponen penting dari
ketahanan nasional dan melihat potensi sumberdaya pertanian Indonesia yang
sangat besar namun belum digarap secara maksimal, pemerintah berketetapan untuk
mengurangi sedikit demi sedikit ketergantungan akan beras impor ini dengan
harapan suatu saat akan tercapai swasembada pangan ( Hafsah, M.J. dan T.
Sudaryanto,2004).
Program peningkatan produksi padi dilaksanakan dengan cara
ekstensifikasi dan intensifikasi produksi. Dalam rangka memacu produksi inilah
peranan pupuk sangat krusial. Kebutuhan pupuk awalnya pun masih harus dipenuhi
dari impor, tetapi karena mengingat gas alam sebagai bahan baku utama pembuatan
pupuk tersedia cukup berlimpah di Indonesia, pemerintah memutuskan membangun
sendiri pabrik pupuk. Sejarah perpupukan nasional dimulai dengan berdirinya
Pupuk Sriwijaya (Pusri) yang dibangun dengan dana rampasan perang Jepang dan
mulai berproduksi pada tahun 1963, diikuti oleh Petrokimia Gresik pada 1972, Pupuk
Kujang pada 1978, Asean Aceh Fertilizer (AAF, proyek patungan antara
negara‐negara ASEAN) pada 1983, serta Pupuk Kaltim (PKT) dan Pupuk Iskandar
Muda pada 1984 ( Hermanto. 1992).
Kebijakan subsidi pupuk dibuat oleh Menteri Pertanian
periode 2000 – 2004. Alasannya, pada saat itu Indonesia mengalami krisis
ekonomi dan moneter, serta krisis pangan. Saat itu Indonesia mengimpor beras
sekitar 5 juta ton dan menginginkan impor berkurang bahkan swasembada.
Satu-satunya jalan agar tidak impor beras produksi dalam negeri harus
meningkat. Jika produksi dalam negeri ingin ditingkatkan, maka petani harus
bergairah dalam berproduksi. Petani akan bergairah jika mendapatkan keuntungan.
Di sisi lain, pada saat itu Indonesia menandatangani Letter
of Intent (LoI) dengan IMF yang salah satu poinnya adalah menghilangkan semua
hambatan impor. Selain itu, di pasar dunia terjadi excess supply pangan yang
mengakibatkan harga pangan dunia rendah sekali sehingga mengimpor sangat
menguntungkan bagi Indonesia.
Indonesia meyakinkan IMF, bila tidak menerapkan kebijakan
proteksi melalui tarif masuk, maka ketahanan pangan Indonesia akan bermasalah
dalam jangka panjang bila mengimpor selama terus menerus, sedangkan dalam
jangka pendek tidak menjadi masalah. Seperti yang diketahui harga beras
internasional yang rendah disebabkan banyaknya subsidi yang diberikan oleh
negara produsennya, sedangkan Indonesia dilarang mensubsidi dan membuat tarif
masuk. Dan IMF pun dapat Indonesia yakinkan.
Ternyata tarif impor saja tidak cukup karena harga dalam
negeri sudah tinggi. Indonesia juga menerapkan harga pembelian pemerintah
(HPP). HPP berdasarkan harga internasional yang rendah ditambah tarif masuk
sehingga HPP relatif sama dengan harga beras dalam negeri yang tinggi. Dengan
ditetapkan HPP itu pun ternyata petani juga belum cukup bergairah. Sehingga
Indonesia memutuskan untuk memberikan subsidi pupuk agar mengurangi biaya
produksinya. Biaya produksinya dikurangi dan harga panen dinaikkan melalui HPP
sehingga margin petani menjadi lebih besar. Itulah sejarahnya Indonesia membuat
subsidi pupuk.
Mulanya hanya subsidi untuk urea, TSP, dan ZA, tapi
akhirnya juga dimasukkan pupuk majemuk. Dengan cara subsidi ini petani akan
membayar harga pupuk lebih rendah daripada harga internasional. Jadi pabrik
pupuk tidak dirugikan tetapi petani memperoleh keuntungan. Pada saat itu
subsidi pupuk tidak besar, hanya sekitar Rp 2 triliun, umumnya hanya untuk
padi, tebu, dan jagung. Dengan kebijakan ini, produksi beras naik sehingga pada
2004 Indonesia tidak perlu mengimpor beras lagi. Kecuali beras bantuan
internasional yang sudah direncanakan jauh sebelumnya dan jumlahnya pun sangat
kecil.
Indonesia membuat kebijakan proteksi dengan tarif masuk
sekaligus promosi melalui subsidi pupuk untuk menjawab keadaan krisis ekonomi
dan moneter saat itu. Sehingga Indonesia berhasil meningkatkan produksi, bahkan
pada 2004 Indonesia sudah berani melarang impor. Jadi mulai 2004 itu keadaan
sudah mulai membaik, seharusnya subsidi sudah dapat dikurangi tapi nyatanya
sampai sekarang subsidi masih terus berlangsung. (Tabloid Agribisnis Dwi
Mingguan AGRINA, 26 April 2010)
Pemerintah berpendapat bahwa mengingat arti strategisnya
komoditas pupuk, harga pupuk tidak dapat diserahkan begitu saja pada mekanisme
pasar, karena fluktuasi harga akan mengakibatkan perubahan daya beli petani,
konsentrasi pemupukan, dan pada akhirnya volume dan kualitas panen. Apalagi
kenaikan harga pupuk tidak dengan sendirinya diikuti kenaikan harga gabah. Di
satu sisi harga pupuk harus dipertahankan cukup rendah agar terjangkau oleh
petani, di lain pihak keekonomian produksi pupuk juga harus dijaga agar
industri pupuk tidak mengalami kerugian.
Teriepas dari segala kekurangannya, pemerintah Orde Baru
memiliki komitmen tinggi membangun sistem agribisnis padi sehingga swasembada
beras dapat diraih pada tahun 1984. Keterkaitan tersebut dapat dipandang
sebagai prestasi luar biasa karena beranjak dari kondisi sistem agribisnis yang
sangat parah dan volume impor terbesar di dunia, serta dalam kondisi permintaan
beras domestik meningkat pesat dengan konsekuensi tingginya iaju pertumbuhan
penduduk dan tingkat pendapatan per kapita.
Revitalisasi sistem agribisnis merupakan program mendesak
guna menstabilkan pertumbuhan produksi beras yang sangat strategis dalam
pemantapan swasembada pangan, peningkatan pendapatan petani, dan dinamisasi
ekonomi desa. Untuk itu kebijakan pangan nasional perlu direkonstruksi secara
komprehensif. Pemerintah perlu memikirkan paket kebijakan pengembangan produksi
pangan utama secara komprehensif, dan tidak hanya terbatas pada harga dasar
gabah saja.
Kebijakan Subsidi Pupuk
Dinamika
kebijakan subsidi pupuk dapat dibedakan menjadi empat tahapan yaitu
·
-kebijakan subsidi sebelum
era pasar bebas,
·
-kebijakan penghapusan
subsidi memasuki pasar bebas,
·
-kebijakan pemberian
kembali subsidi pupuk, dan
·
-kebijakan subsidi pupuk
era pasar bebas.
Dinamika kebijakan dengan tingkat intensitas yang relatif
tinggi mengindikasikan ketidak puasan berbagai pihak terkait terhadap rumusan
kebijakan, implementasi, dan dampaknya bagi petani dan pembangunan pertanian.
Bahasan ini akan membahas secara ringkas kinerja kebijakan tersebut dan
mengajukan pola introduksi distribusi pupuk ke depan (Sudaryanto, et.al.,
2005).
Bahasan ini akan difokuskan pada kinerja kebijakan subsidi pupuk era pasar
bebas yang dipicu oleh adanya peningkatan harga gas sejak tahun 2000 yang
akhirnya mendorong pemerintah memberikan kembali subsidi pupuk sejak tahun
2001.
Secara ringkas kinerja subsidi pupuk pada periode
sebelumnya dapat dinyatakan (Sudaryanto, et.al., 2005) sebagai berikut:
(a)
Kinerja subsidi sebelum era
pasar bebas: mampu mendorong tercapainya swasembada beras 1984; pengurangan
subsidi perlu dikompensasi dengan peningkatan harga produksi; dan peningkatan
harga pupuk tidak berpengaruh terhadap penggunaannya, karena proporsinya dalam
biaya usahatani masih relatif kecil.
(b)
Penghapusan subsidi
memasuki era pasar bebas: penghapusan monopoli telah mengefisienkan distribusi
pupuk; subsidi pupuk dinilai iebih adil dibandingkan dengan subsidi gas untuk
pabrik pupuk.
(c)
Kebijakan pemberian kembali
subsidi pupuk: format ROSP (Rencana Operasional Subsidi Pupuk) memungkinkan
pabrik pupuk memperoleh subsidi langsung dari pemerintah; subsidi untuk pabrik
pupuk, dan bukan untuk petani; struktur subsidi hanya menguntungkan pabrk
pupuk.
Hasil kajian PSE KP terhadap kinerja subsidi puupk pada era
pasar bebas diperoleh beberapa informasi penting (Sudaryanto, et.al., 2005)
sebagai berikut:
a)
-Konstruksi kebijakan
menimbulkan dualisme pasar dan rawan terhadap penyimpangan;
b)
-Terjadinya ekspor ilegal
karena harga di pasar dunia Iebih menarik;
c)
-Pengalihan atau pencabutan
subsidi pupuk dapat menimbulkan lonjakan harga pupuk domestik;
d)
-Peluang terjadinya
kelangkaan pasokan cukup besar sebagai akibat dari kesalahan manajemen;
e)
-Subsidi input Iebih mudah
dibandingkan subsidi harga output pertanian;
f)
-Kebijakan subsidi pupuk
dinilai tidak efektif, dan disarankan agar subsidi pupuk dikembalikan lagi
kepada petani.
Ø
Terdapat beberapa
justifikasi kenapa subsidi pupuk Iebih mudah dibandingkan dengan subsidi harga
output pertanian, yaitu:
Ø
Sebagian besar petani
menghadapi kendala biaya produksi dengan orientasi minimisasi biaya, sehingga
insentif input Iebih sesuai;
Ø
Insentif input Iebih mudah
mengakselerasi adopsi teknologi guna meningkatkan produktivitas dibanding
insentif output;
Apabila
pengelolaan subsidi menggunakan prinsip bergaransi dan profesionalisme, maka
penjaminan harga Iebih mudah dicapai pada input dibandingkan output. Pasokan
pupuk (terutama Urea) diproduksi di dalam negeri dan harga domestik (subsidi)
lebih rendah dari harga internasional. Sementara itu pasokan beras masih
membutuhkan dukungan impor, yang harganya jauh lebih rendah dibandingkan harga
yang didukung pemerintah (HPP). Dengan keterbatasan kemampuan menangani penyelundupan,
maka membatasi rembesan (ke luar) pupuk akan lebih mudah dibandingkan rembesan
(ke dalam) beras.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pupuk
pada era pasar bebas ini dinilai tidak efektif untuk membantu petani. Hal ini
dibuktikan oleh beberapa fakta berikut ini:
Harga pupuk di tingkat petani jauh di atas harga HET; dan Pasokan
pupuk di tingkat petani seringkali langka karena konskuensi dari dualisme
pasar, ekspor pupuk, dan keterbatasan penyaluran oleh pabrik pupuk. Fenomena langka pasok dan lonjak harga pupuk merupakan
kasus menyimpang yang tidak semestinya terjadi. Produksi pupuk urea dalam
negeri jauh melebihi kebutuhan dan distribusinya dikendalikan pemerintah.
Berdasarkan fenomena di atas PSE-KP secara tegas menyarankan "kembalikan
subsidi pupuk kepada petani" (Simatupang, 2004).
Nilai
APBN untuk subsidi pupuk
Kementerian Pertanian pada tahun 2011 mengalokasikan
anggaran untuk subsidi pupuk sebesar Rp 16,38 triliun untuk volume pupuk
sebanyak 11,28 juta ton. Menteri Pertanian, Suswono, di Jakarta, Rabu (29/12),
menyatakan, kebijakan subsidi pupuk tersebut masih diperlukan untuk mendukung
pencapaian produksi pertanian tahun depan. Menyinggung besaran subsidi pupuk
2011 dibandingkan tahun ini , menurut Mentan terjadi penurunan yang mana pada
2010 dialokasikan anggaran sebesar Rp18,41 triliun.
Mengenai penurunan anggaran subsidi pupuk pada 2011, Sekjen
Deptan Hari Priyono menyatakan, hal itu disesuaikan dengan tingkat penyerapan
pupuk di tingkat petani yang semakin rendah. Menurut dia, petani semakin
menyadari bahwa penggunaan pupuk kimia yang berlebihan akan merusak tanah dan
berdampak terhadap penurunan produtivitas tanaman. Selain subsidi pupuk, pada
tahun depan, Kementerian Pertanian juga masih mengalokasikan anggaran untuk subsidi
benih sebesar Rp1,85 triliun turun dari 2010 yang mencapai Rp2,26 triliun. (
Media Indonesia MI, 30 Desember 2010).
Tata cara penyediaan anggaran, penghitungan, pembayaran dan
pertanggung jawaban subsidi pupuk, ditetapkan pemerintah dalam Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Nomor 120/PMK.02/2010, yang dikeluarkan 14 Juni lalu. Dijelaskan
dalam PMK itu, pemberian subsidi dilaksanakan melalui Produsen Pupuk. Sementara
jenis pupuk yang diberikan subsidi ditetapkan oleh Menteri Pertanian sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Dana untuk keperluan subsidi
pupuk dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menteri
Keuangan selaku Pengguna Anggaran menetapkan Direktur Jenderal Tanaman
Pangan-Kementerian Pertanian selaku Kuasa Penggunaan Anggaran (KPA) dalam hal
pelaksanaan subsidi pupuk.
Dalam pelaksanaanya Direktur Jenderal Tanaman Pangan
Kementerian Pertanian selaku KPA menyusun konsep Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran (DIPA) dan menyampaikan secara tertulis kepada Direktur Jenderal
Perbendaharaan-Kementerian Keuangan guna memperoleh pengesahan. Untuk
pembayaran subsidi pupuk dimaksud, Direksi Produsen Pupuk mengajukan tagihan
pembayaran subsidi pupuk kepada Direktur Jenderal Tanaman Pangan-Kementerian
Pertanian. Tagihan tersebut wajib disertai dan dilengkapi dengan data/dokumen
pendukung, termasuk Surat Pernyataan Tanggungjawab Mutlak yang menyatakan bahwa
Produsen Pupuk Bertanggung jawab secara formal dan material.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan-Kementerian Pertanian
selaku KPA bertanggung jawab sepenuhnya atas penyaluran dana subsidi pupuk
kepada Produsen Pupuk. Selain itu, KPA
juga menyelenggarakan akuntansi dan pelaporan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan. Dalam rangka pelaksanaan subsidi pupuk, Kementerian
Keuangan dan Kementerian Pertanian dapat membentuk tim untuk melakukan
monitoring dan evaluasi sesuai dengan kewenangannya. (Mindcommunication
Strategy, 30 Juni 2010)
DAFTAR
PUSTAKA
·
Departemen
Pertanian. 2010. Peraturan Menteri Pertanian.http://www.deptan.go.id/pengumuman/Permentan2010/Permentan_tp2010.pdf.Diakses 11 Mei 2011.
·
Handewi._.Metode
Analisis Harga Pangan.Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
: Bogor.
·
Media
Indonesia.2010. Anggaran Subsidi Pupuk 2011 Capai Rp16,38 Triliun.http://hileud.com/anggaran-subsidi-pupuk-2011-capai-rp1638-triliun.html.Diakses
11 Mei 2011.
·
Mindcommunication
strategy.2010.Aturan Baru Untuk Media Pembayaran Subsidi Pupuk. http://mindcomm-strategy.com/aturan-baru-untuk-anggaran-dan-pembayaran-subsidi-pupuk/.Diakses 11 Mei 2011.
·
Nyak
Ilham, Hermanto Siregar._.Dampak Kebijakan Harga Pangan Dan Kebijakan
Moneter Terhadap Stabilitas Ekonomi Makro. Jurnal Agro Ekonomi, Volume 25
No 1, Mei 2007 : 55-83
·
Tabloig
Agribisnis Dwimingguan AGRINA.2010.Alihkan Susidi Pupuk Secara Lambat
Laun. http://www.agrina-online.com/redesign2.php?rid=9&aid=2414. Diakses 11 Mei 2011.
·
Zulkifli
Mantau, Bahtiar.2010.Kajian Pangan Harga Pangan Nonberas Dalam Konteks
Ketahanan Pangan Nasional.Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi
Utara.
Post a Comment for "Sejarah Kebijakan Subsidi Harga Pupuk di Indonesia"